Mei, Saya Minta Maaf



Debra H. Yatim

Mei, saya minta maaf atas
perkosaan massal yang kau alami
melulu karena kau sial diseleksi 
untuk simbolisasi
suatu kegilaan yang sampai kini
masih sukar kupahami.

Media massa lelaki minta bukti bukan kata
bahwa betul kau diperkosa
dan mereka tuntut kita singkapkan juga
dalam jumlah berapa,
dan oleh siapa,
jangan-jangan sekalian dengan foto, kalau bisa,
mau lihat apa kau cantik sampai pantas 
diperkosa,
tanpa mereka berempati bahwa satu perkosaan semata
merupakan satu perkosaan terlalu banyak sudah,
mirip jika mereka bunuh satu orang
maka yang telah dibunuh seluruh manusia.

Mei, saya minta maaf atas eufemisme selama kita bernegara.
Kau diterima sebagai Indonesia, tapi itu…,
sudahkah kau pegang surat bukti warganegara?
Meski moyangmu berkelana berabad lampau ke Nusantara,
sama seperti moyang orang Lubuk Linggau dan Lamandau;
sama seperti perempuan Aceh
yang ingin nikmati hasil Ladang Arun, tapi diperkosa
karena kurang setia sebagai warganegara;
Sama seperti Mama Leta di Bukit Anjaf,
dan Mama Josefa di Papua;
tatacara mereka kurang tunjukkan
keindonesiaan dan perempuan sebagaimana yang disukai kaum laki mapan dan
semenjana.

Begitu pula saya minta maaf sebesar-besarnya
untuk genosida di Atambua;
untuk pengejaran perempuan Ahmadiyah;
untuk perundungan kaumku yang Lesbian,
mengingat mereka dipersepsi merongrong kekuasaan lelaki yang merasa tuhan.

Mei, dalam kita sepakat hidup bersama
kadang batu ujianmu terlampau beban.
Maafkan saya, Mei, atas
ketidaknyamanan,
seluruh penderaan, 
perundungan, dan perkosaan
yang kau alami jiwa dan raga,
melulu karena kau

perempuan.

Antologi Puisi "Bulan Pakai Payung - 95 Tahun Perempuan Indonesia Bergerak", dhy, Cinangka, 2024

Post a Comment

0 Comments