KORUPSI DI INDONESIA; SUDUT PANDANG FILSAFAT ILMU
Oleh Nuzulillah, Mahasiswa Ekonomi & Bisnis UNUSIA.
Sebagian
orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki
seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa.
Sebagian lain menyatakan bahwa korupsi belum membudaya, walaupun harus
diakui korupsi telah sangat meluas. Sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003
: 42), mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi
korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan dari laporan
Bank Dunia itu (Ibid : 50), menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar
panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu
berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan.
Dari
masa tersebutlah Indonesia mewarisi praktek-praktek “korup” seperti membayar
untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai
menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada masa Orde Baru
yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan
luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusaha-pengusaha
besar dan membangun konglomerasi baru dan memberikan kemudahan dan fasilitas,
bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk
mempengaruhi politisi dan birokrat.
Sejak
lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan korupsi belum juga
tertangani dengan baik. Niat untuk memberantas korupsi cukup kuat. Berbagai
peraturan dan reformasi perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi
tidak membawa hasil yang memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap
justeru terjadi setelah masa reformasi.
Fenomena
ini membuat kita bertanya kembali dari sisi filsafat, sebenarnya apa yang
terjadi dengan korupsi, mungkinkah kita salah mengartikan tentang apa yang
dianggap korupsi dan apa yang tidak korupsi.
Kita perlu berpikir kembali tentang aspek ontologi, epistemologi dan
aksiologi dari korupsi. Fenomena ini mengasumsikan bahwa ada yang salah dalam
memahami korupsi di Indonesia yang disebabkan oleh penentuan metodologi
pemaknaan/pendefinisian yang tidak tepat sehinggaberbagai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan
di Indonesia hingga sekarang ini tetap tidak terselesaikan.
Ontologi Korupsi
Menurut
Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa & amp; Moh. Yamin, 1987 : 6), pengertian
umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan
dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan lain yang merugikan
atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan
dan kepentingan rakyat.
Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang tindak pidana korupsi adalah “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” atau “perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Termasuk dalam pengertian tindak korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai negeri.
Korupsi
adalah rangkaian unsur-unsur (rumusan) yang tertulis dalam undang yang
dicocokan dengan tindakan seseorang pada situasi konktrit. Rumusan dan
unsur-unsur tersebut masih merupakan “gambaran” atau “bayangan”, yang masih
berada dalam pikiran atau idea yang ditulis, dipositifkan dan dianggap sebagai sesuatu kebenaran.
Rangkaian perbuatan konkrit dari “gambaran” atau “bayangan” tersebut adalah
merupakan kejahatan, karena itu yang melakukannya dikenai hukuman. Apakah betul
rangkaian perbuatan tersebut adalah kejahatan?
Dalam
kerangka paham positivis “gambaran” atau “bayangan” tersebut dianggap benar dan
dijadikan landasan dalam mengambil putusan bahwa perbuatan konkrit atas
penggambaran tersebut adalah “kejahatan”, tidak perduli apakah gambaran
tersebut bertentangan atau tidak dengan etika atau moralitas dalam masyarakat.
Etika dan moralitas menurut pandangan positivis berada di luar sisi hukum dalam
penerapannya.
Karena
itu dari sisi pandangan positivis hal itu tidak perlu dibahas lebih jauh
kecuali untuk keperluan ius constituendum (hukum yang dicita-citakan).
Sebaliknya walaupun suatu perbuatan seorang pejabat atau pegawai negeri yang oleh masyarakat
dianggap tercela tidak dapat dikatakan sebagai korupsi apabila tidak memenuhi unsur-unsur
yang ditulis dalam undang-undang atau sedemikian rupa tidak dapat ditafsirkan
sehingga cocok dengan rumusan undang-undang. Inilah hal pertama yang harus
dipahami tentang korupsi.
Epistemologi Korupsi
Metodelogi
yang mendasari pengertian korupsi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
pemberantasan korupsi tersebut sangat mempengaruhi rumusan atau batasan apa
yang dimaksud korupsi sebagai sebuah kejahatan dan oleh karena itu harus
dihukum. Dengan dasar apa rumusan tersebut diatas dibuat, apakah hanya karena
anggapan dari pembuatan undang-undang saja atau dari hasil sebuah penelitian
yang merangkum pandangan masyarakat tentang korupsi.
Nampaknya beberapa persoalan metodologis seperti ini tidak tergambar dengan jelas dalam rumusan undang- undang tersebut. Paling mungkin yang terjadi adalah rumusan tersebut berasal dari pandangan para ahli atau pandangan dari pembentuk undang-undang saja dan tidak melalui sebuah proses penelitian atas pandangan masyarakat tentang korupsi.
Apa yang
secara tepat disebut korupsi dari sudut pandang pekerjaan birokrasi bisa
berbeda dengan sisi pandangan masyarakat. Karena itu, bisa saja suatu perbuatan
adalah korupsi menurut pandangan masyarakat tetapi dari pandangan cara kerja
birokrasi hal itu bukanlah korupsi.
Mengamati
kenyataannya yang terjadi di Indonesia, mendapatkan kekayaan dari keuangan
negara apakah legal atau tidak legal, dapat menyenangkan banyak orang bahkan
pelakunya mendapatkan penghargaan, pujian bahkan status sosial yang lebih
tinggi karena kekayaannya. Jika cara pandanganya adalah filsafat materialisme
maka ada banyak aspek perbuatan korupsi yang bisa dibenarkan. Mungkin inilah
pula kenapa korupsi tidak sepenuhnya dapat diatasi di Indonesia karena bagian
terbesar masyarakat sudah dirasuki oleh
pikiran materialisme dan penghambaan terhadap materi dan kekayaan.
Sementara,
pada sisi lain cara pandang yang dijadikan dasar untuk mendefinisikan dan
memberikan pengertian korupsi pada perundang-undangan kita adalah cara pandang
yang didasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide. Apa
yang ada dalam kepala itulah yang diasumsikan sebagai kebenaran, padahal ide
tidak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi. Dalam
perumusan tindak pidana korupsi telah menjadikan ide sebagai kebenaran dan ide
itu dipositifkan kedalam undang-undang. Padahal ide banyak hambatannya dalam
melihat suatu kebenaran.
Sir
Francis Bacon seorang filosof Inggeris, (F.Budi Hardiman, 2004: 28-29)
mengatakan tidak begitu yakin dengan kebenaran ide, karena ide kadang-kadang
terhambat oleh adanya “idola”, yaitu rintangan yang berupa tradisi-tradisi yang
merasuki jalan pikiran sehingga tidak kritis menilai sesuatu sehingga menjadi
tidak obyektif. Menurut F. Bacon, ada 4 macam “idola” yang menjadi rintangan
berpikir kritis itu yaitu, pertama; yakni idola trubus, yaitu semacam prasangka
yang dihasilkan oleh keajekan tatanan
alamiah sehingga tak sanggup memandang alam secara obyektif.
Kedua
adalah idola cave, yaitu pengalaman dan minta pribadi yang mengarahkan cara
melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan. Ketiga merupakan idola fora,
yaitu pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga
mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian menjadi tak teruji. Dan keempat
idola theatra, yaitu sistem-sistem filsafat tradisional yang merupakan
kenyataan subyektif dari para filosofnya.
Dalam
hal ini, pengertian korupsi harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda
yaitu sudut pandang filsafat materialisme dan empirisme, sehingga dapat
dipahami bahwa beberapa perbuatan untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu
orang lain, memberikan banyak sumbangan sosial dan keagamaan, membantu
keluarga, membantu negara, mendapatkan kehormatan dan kedudukan dalam
masyarakat, menguntungkan rakyat secara umum atau menguntungkan negara secara
tidak langsung dan perbuatan perbuatan lain yang terpuji seharusnya tidak
digolongkan sebagai perbuatan korupsi.
Pandangan
Immanuel Kant (Mohammad Muslih, 2005 :62), mengenai putusan dapat menjadi acuan
untuk melihat epistemologi korupsi, yaitu apa yang disebut oleh Kant dengan
putusan “sintetis a priori”. Kant membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu
pertama, putusan analitis a priori; yaitu prediket tidak menambah sesuatu yang
baru pada subjek karena sudah termuat didalamnya (misalnya setiap benda
menempati ruang). Kedua, Putusan sintesis aposteriori; misalnya pernyataan
“meja itu bagus”, disini prediket dihubungkan dengan subyek berdasarkan
pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka
ragam meja yang telah diketahui. Ketiga, keputusan sintesis a priori; disini
dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis namun
bersifat a priori juga. Misalnya putusan yang berbunyi “segala kejadian
mempunyai sebabnya.
Pada
sisi tertentu, Korupsi harus juga dilihat dari hukum kausalitas, yaitu sesuatu
tidak mungkin terjadi kalau tidak ada sebabnya. Korupsi juga adalah akibat dari
kehilangan idealisme dan pengutamaan pada materialisme. Jadi “suap” dari sudut
pandang filsfat ekonomi pasar yang mengedepankan efektifitas dan efisiensi
dapat merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak merugikan negara atau orang
lain. Sedangkan undang-undang anti korupsi melihat masalah “suap” dari sudut
pandang filsat idealisme saja. Walaupun sebagai Warga Negara Indonesia pilihan
terhadap tata kelola dan pelaksanaan hukum sudah tentu menjadi harapan --tentu
saja sebagai ketegasan “rejim” berkuasa menjalankan kekuasaan secara adil tanpa
deskriminasi. Mungkin Perkembangan Hukum
di Indonesia sudah saatnya berbasis pada Restorasy of Justice sebagai
pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan
keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri --agar terjadi
obyektivasi dalam setiap keputusan.
Kesimpulan
Dari
uraian tersebut di atas dari kajian filsafat ilmu terdapat banyak kekurangan
yang ditemukan dalam memberikan pengertian tentang korupsi, terutama dari segi
rumusan perbuatan pidana korupsi yang tercantum dalam undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Rumusan
tersebut ternyata tidak menjangkau seluruh pandangan masyarakat tentang apa
yang dianggap “korup” dan apa yang tidak. Sehingga rumusannya potensial tidak
menyentuh seluruh aspek perbuatan tercela yang seharusnya dinyatakan sebagai
perbuatan “korup”, dan bahkan dapat menjerat seseorang sebagai telah melakukan
korupsi. Persoalan tersebut disebabkan oleh tidak jelasnya epistemologi
penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi.
Nampaknya pembentuk undang-undang lebih banyak mempergunakan perspektif keadilan hukum, yang mendasarkan pendekatan sisi materislisme dan empiris serta idealisme. Disamping itu, dari sisi filsafat pendekatan “nilai” atau “norma” hukum yang dipergunakan lebih menonjolkan sisi pandang positivisme dibanding sudut pandang pragmatis dan “legal realisme”. Bahkan yang diuraikan di atas adalah satu persoalan saja dari banyak problem hukum yang terjadi, yaitu persoalan rumusan tindak pidana korupsi dan suap.
Penggunaan
pendekatan yang lebih komprehensif dalam melihat korupsi akan sangat
berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kesalahan pendekatan
berakibat salah persepsi terhadap korupsi dan akan menyebabkan terhambatnya
pemberantasan korupsi. Untuk ke depan
perlu pendekatan penyempurnaan undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi dan implementasinya, setidaknya Hukum dikonstruksi sebagai
peradaban masa depan perkembangan hukum di Indonesia.
REFERENSI
Baharuddin
Lopa & amp; Moh Yamin, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang
No. 3 tahun 1971) Berikut Pembahasan serta Penerapannya Dalam Praktek, Alumni,
Bandung, 1987.
Budi
Hardiman, F., Filsafat Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzhe, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Donald
Walters, J., Crisis in Modern Thought, Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dalam
Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Conny
Semiawan, at.al., Panorama Filsafat Ilmu, Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang
Zaman, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005.
Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi dasar Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan, Cet. Kedua, Penerbit Belukar, Yogyakarta, 2005.
0 Comments