Pluralisme Gus Dur, Keniscayaan Indonesia.

 

Pluralisme Gus Dur, Keniscayaan Indonesia
Oleh Amsar A. Dulmanan,
Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial UNUSIA
 

KH. Abdurrahman Wahid, bagi Greg Barton dalam bukunya Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. (Yogyakarta: LKiS, 2002) --dikenal sebagai Gus Dur,  digambarkan dengan kata-kata singkat; kompleks dan nyeleneh.  Cenderung sulit dipahami, dan tergantung dari sudut apa melihat serta memahaminya.

Gus Dur adalah sosok misterius, tak terduga, dan weruh sak durunge winarah –bisa mengerti sebelum kejadian. Namun bagi tidak sepaham, Gus Dur merupakan sosok yang suka memotong jalan orang, mengobrak-abrik kemapanan, bahkan  ngawur dan oportunis.

Bahkan ketika memperjuangkan prinsip “kemanusian” Gus Dur sebagai manusia mememiliki kenekatan luar, seperti hak bicara, hak politik dan kebebasan berekspresi, hubungan  antar agama, dan misi perdamaian serta mengenai Hak Asasi manusia.  Bagi beliau perbedaan etnik, bangsa, warna kulit, bahasa, profesi, hobi,  bahkan agama dan keyakinan  merupakan suatu keniscayaan yang perlu dihormati, dihargai dalam pergaulan antar manusia. Perbedaan merupakan anugerah “kodrati”  yang mesti disyukuri dan dipahami sebagai pluralisme sosial atas kemanusiaan manusia Indonesia.  (A. Nur Alam, Bakhtiar,   Jakarta: Kultura. 2008).

Pluralisme  bagi Gus Dur bukan berarti “generalisasi” terhadap kebenaran, melainkan “paham” yang mengajarkan kesadaran bahwa di  luar keyakinan diri, ada keyakinan lainnya. Pluralisme mengajarkan kesadaran kepada manusia beragama --terutama Islam-- akan adanya kemajemukan dalam kelompok umat manusia.

Maka bukan keanehan ketika Gus Dur melakukan pembelaan terhadap Aswendo Atmowiloto --pengasuh tabloid Monitor yang dianggap menghina Nabi Muhammad SAW, atau terhadap Inul Daratista  -- Lihat Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita;  Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institut. 2006-- di tengah hujatan umat Islam Indonesia.  Sebagai suatu tindakan yang oleh kalangan Islam sangat kontroversial.

Juga terhadap hak-hak kaum minoritas, kaum perempuan, serta pembelaan terhadap kelompok non-muslim. Gus Dur hadir sebagai sosok intelektual, budayawan, pengamat sosial politik, atau sebagai institusi di mana Gus Dur berada, baik sebagai pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan sebagai negarawan –sebagai Presiden RI. Seperti terhadap etnis Tionghoa Indonesia yang  mendapat posisi setara dan sejajar dalam keyakinan keagamaannya di Republik Indonesia.

Sementara pada sisi tertentu usulan agar Tap/MPRS/XXV/1965 tentang penyebaran paham Marxisme-Leninisme dan Komunisme dicabut karena dinilai diskriminatif. Seperti ungkapannya, “…Kita harus memberikan tempat bagi perbedaan pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali… karena TAP itu melarang penyebaran paham Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Sebagai sebuah paham, pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerangan, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum apa pun”. (Abdurrahman Wahid, 2006). Argumen yang dikedepankan adalah bertolak belakang terhadap demokratisasi di Indonesia, Gus Dur kukuh pada kebebasan seseorang untuk menentukan pilihan terhadap pendiriannya sebagai warga negara yang sadar, sekaligus untuk menghormati segala perbedaan, mengingat perbedaan merupakan “rahmat”  dalam kehidupan manusia Indonesia, dalam hal ini  “Islam”  adalah Rahmatan  Lil’alamin.

Gus Dur meletakan “Pluralisme”  sebagai kebhennikaan adalah keniscayaan Rahmat Allah, adalah realita dan fakta sosial politik keberadaan  Indonesia sebagai Negara Kesatuan berbentuk Republik.  Bagi Gus Dur  tidak ada “monopoli” kebenaran ‘politik”, karena kebenaran adalah proses dialektika terjadi dari kebebasan berkehendak serta  pemikiran bebas manusia (Greg Felay & Greg Barton (Ed.).  1997).  Sementara kebenaran mutlak --yang absolut, adalah hanya milik Tuhan Semesta Alam.

 

Jakarta, 20 Juni 2022

 

Post a Comment

0 Comments