KONSEP EPISTEMOLOGI DALAM PROSES METODELOGI "ILMU PENGETAHUAN"


Oleh: Muhammad Rafli, Mahasiswa Ekonomi Syariah
Fakultas Ekonomi & Bisnis UNUSIA

Pembahasan filsafat terbagi atas tiga objek pendekatan, yaitu: pendekatan ontologi, epistemologi dan aksiologi. ontologi membicarakan tentang hakikat, objek dan struktur filsafat, epistemologi membahas cara memperoleh dan ukuran kebenaran pengetahuan filsafat, sedangkan Aksiologi mendiskusikan masalah kegunaan filsafat dan cara filsafat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Fokus pembahasan artikel ini adalah pada bidang ontologi. Ontologi sendiri terbagi atas tiga konsentrasi pembahasan, yaitu: teologi, kosmologi dan psikologi. Ketiga pokok bahasan ilmu ini memiliki integrasi untuk memberi pemahaman kepada manusia bagaimana menganalisis tentang hakikat yang ada (metafisik) melalui jalan empiris dan rasional.

Sebagai contoh adalah ketika manusia dipaksa untuk merasionalisasi campur tangan Tuhan dalam hal peredaran sistem alam semesta yang tersusun begitu rumit, maka dalil-dalil empiris yang diarahkan ke dalail-dalil rasional harus senantiasa dapat mendukung bahwa semua yang ada dalam alam semesta ini tidak berjalan begitu saja, tentu saja ada yang mengaturnya. Ada kekuatan maha dahsyat yang membuat semua berjalan pada garis edarnya masing-masing. Mata mampu melihat sistem peredaran alam semesta yang disebut dengan empiris, sedang memikirkan bahwa alam tersusun secara rapi dan sistematis pasti ada pelakunya disebut dengan rasional.

pertentangan rasionalisme dan empirisme

Epistemologi Immanuel Kant tidak pernah dapat dilepaskan Lailiy Muthmainnah 79 dari keberadaan dua aliran besar tentang pengetahuan yaitu rasionalisme dan empirisme. Teori pengetahuan yang dikembangkan oleh Plato dan Descartes yang disebut dengan “rasionalisme” menegaskan bahwa pengetahuan hanya akan ditemukan dengan menggunakan akal. Rasionalisme memiliki asumsi bahwa pengetahuan yang pasti secara mutlak tidak akan pernah dicapai melalui pengalaman inderawi melainkan harus dicari dalam alam pikiran (in the realm of the mind).


Sebagai reaksi terhadap rasionalisme, maka muncullah empirisme. Diantara filsuf yang dapat digolongkan dalam aliran empirisme ini adalah John Locke, Berkeley, dan David Hume. Secara umum filsuf-filsuf empiris mencoba untuk menemukan basis pengetahuan pada pengalaman inderawi.

Epistemologi Immanuel Kant dapat diposisikan sebagai jembatan antara rasionalisme dan empirisme. Kant menyatakan bahwa rasionalisme memiliki sifat analitik apriori (mendahului pengalaman). Adapun ciri putusan yang bersifat analitik apriori adalah mengkonstruksi sebuah sistem pengetahuan yang dilengkapi dengan dimensi universalitas atau keniscayaan. Hanya saja, jenis pengetahuan yang semacam ini bersifat tautologis, hanya pengulangan dan kurang andal, karena tidak menyajikan sesuatu yang baru. 

Melalui revolusi epistemologi yang Kant lakukan, ia memposisikan pikiran sebagai sesuatu yang aktif, tidak pasif. Pikiran tidak melulu mencerminkan dunia, melainkan dalam aktivitas tertentu pikiran mampu membangun dunia. Untuk mengetahui dunia pengalaman, bukan pikiran yang menyesuaikan dunia, tetapi dunia yang harus menyesuaikan pikiran. Pikiran akan membentuk dan mengkategorikan objek secara aktif, mengubah dunia objek dalam ruang dan waktu, terletak dalam relasi sebab-akibat, dan menaati aturan lain. Pikiran menyaratkan struktur sehingga dunia pengalaman dapat diketahui. Ruang dan waktu merupakan bentuk intuisi inderawi, yang sekaligus menunjukkan adanya aktivitas pikiran yang menstruktur. Manusia dapat mengalami sebuah dunia objek-objek karena ia terletak di dalam ruang, serta dapat selalu berubah karena ruang dan waktu adalah bentuk-bentuk subjektif inderawi. Artinya segala yang dialami oleh manusia harus melalui proses sensasi/pengindraan dalam lensa ruang dan waktu.

Lebih lanjut Kant berpendapat bahwa intuisi-intuisi inderawi tidaklah cukup untuk mengetahui. Intuisi inderawi tersebut harus dibawa pada konsep-konsep yang dibentuk dan diatur oleh 12 kategori, yaitu : kesatuan, pluralitas, totalitas, kenyataan, negasi, pembatasan, substansi, sebab akibat, kesalingan, kemungkinan, aktualitas, dan kebutuhan. Adanya kategori ini membuktikan bahwa dunia yang kita alami adalah dibentuk oleh pemikiran. Proses inilah yang disebut dengan deduksi transendental.

Model Pendekatan dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme 

1. Model Rasionalisme

Dalam membangun sistem pemikirannya, kaum rasionalisme juga didasarkan terhadap logika yang sahih (valid). Logika sebagai istilah berarti sebuah metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Adapun bentuk pemikiran dari mulai yang sederhana ialah pengertian atau konsep, proposisi atau pernyataan (propositio: stattmen) dan penalaran (ratiocinium: reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa proposisi. maka untuk memahami penalaran ketiga bentuk pemikiran ini harus dipahami bersama.


2. Model Empirisme.

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa kaum empiris telah berpendapat bahwa pengetahuan manusia bukan didapat lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang kongkret. Pemikiran seperti ini paling tidak dimulai sejak zaman Aristoteles. Semenjak itu muncul tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pengalaman manusia dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut. Doktrin empirisme merupakan contoh dari tradisi ini. Kaum empirisme berdalil bahwa adalah tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat, namun lebih dapat diandalkan, kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang yang besar untuk benar meskipun kepastian mutlak tidak dapat dijamin. Masalah utama yang timbul dalam menyusun pengetahuan secara empiris ini ialah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung hanya menjadi kumpulan suatu fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang menggunakan metode berpikir yang lebih bersifat kontradiktif.

 Kemudian agar metode ini dapat mudah dipahami maka perlu kiranya ditentukan suatu rangkaian prosedural yang tentunya tidak bersifat paten. Secara sederhana rangkaian prosedural itu digambarkan sebagi berikut: Pertama, kesadaran dan perumusan masalah. Kedua, Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan. Ketiga, Penyusunan atau klasifikasi data. Keempat, Perumusan hipotesis. Kelima, Definisi dan hipotesis. Keenam, Tes dan pengujian kebenaran.


RASIONALISME DAN RELEVANSI KONTEMPORER

Rasionalisme sebagai sebuah konsep corak filsafat membawa kendala. Pertama, terletak pada upaya untuk mengklasifikasikan tiap zaman atau periode filsafat. Menurut Copleston, setiap terma atau istilah di dalam pembabakan sejarah filsafat secara umum menunjukkan patahan (break), misalnya antara periode pertengahan dan pasca pertengahan. Problem yang pertama tersebut membawa pertanyaan pada problem Kedua, yakni megenai kontinuitas dan kebaruan. Ketiga mengenai perbedaan-perbedaan antara tiap zaman. Persoalan utama yang diajukan oleh para filsuf abad pertengahan dapat dilihat dari pernyataan Aristoteles mengenai kecenderungan orang Yunani yang terpesona terhadap masalah etis, Orang Romawi dengan masalah hukum, dan orang Abad Pertengahan dengan teologi. Menurut Aristoteles mereka semua tidak berfokus kepada ilmu pengetahuan.


Secara umum, istilah Rasionalisme (rationalism) adalah “the theory that all behaviour, opinions, etc should be based on reason, not feeling or religious belief. ahuan harus datang dari dan diuji oleh pengalaman (sense experience). Rasionalisme juga dikenal sebagai sebuah aliran pemikiran yang muncul pada masa pendewasaan renaissance. Dalam hal ini, rasionalisme diartikan sebagai sebuah kecenderungan epistemologi bahwa sumber pengetahuan yang dapat memenuhi kriteria mencukupi dan dapat dipercaya adalah rasio (akal).

Rasionalisme sebagai “ramuan masyarakat modern” memiliki empat ciri khusus; pertama, rasionalisme sebagai paham yang meletakkan kepercayaan pada kekuatan akal budi manusia. Kedua, penolakan terhadap tradisi, dogma dan otoritas. Ketiga, rasionalisme mengembangkan metode baru bagi ilmu pengetahuan yang menunjukkan ciriciri modernisme secara jelas. Keempat, rasionalisme membawa sekularisasi, yakni munculnya cara lain untuk menghayati realitas, yakni melalui ilmu pengetahuan. Pra rasionalisme, manusia menghayati fenomena alam melalui interpretasi kitab suci atau pemahaman agama klasik.

Asumsi dasar rasionalisme terletak pada diktum bahwa pengetahuan rasional dibentuk oleh idea. Banyak kritikus kontemporer dengan mendasarkan diri pada kritik-kritik filsuf-filsuf pasca rasionalisme yang menyatakan relativitas konsep idea itu sendiri. Posisi Idea sebagai benda objektif yang dengan demikian menghilangkan nilai pada pengalaman indra manusia. dan secara umum, teori rasional tidak mampu menjelaskan pertambahan pengetahuan manusia. Kritik terhadap rasionalisme dapat dilihat juga dengan kemunculan aliran empirisme dan terutama dari kalangan Fenomenolog serta pengguna hermeneutika. Penempatan rasio sebagai perangkat yang mengakses kebenaran dianggap sebagai kelemahan utama. Pembedaan terhadap subjek antara yang mengetahui dan yang diketahui adalah sebuah tindakan yang kurang tepat. namun realitas memberikan dirinya kepada subjek sebagai yang memberikan wujud. Subjek yang menangkap realitas yang memberikan wujud tersebut, selalu melangkah pada tahap wujud realitas yang terberi yang disebut juga wujud pra-reflektif.

Positivisme dan Paradigma Struktural-Fungsional

Sebagai epistemologi yang positivis terdapat konsep-konsep penting dalam positivisme. Positivisme dalam filsafat merupakan epistemologi yang menjadikan pengalaman sebagai dasar dari semua pengetahuan yang menjadikannya lebih dekat dengan Empirisisme dibandingkan Rasionalisme. Istilah positivisme sendiri diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Secara garis besar terdapat beberapa asumsi dasar dalam positivisme menurut Kolakowski dan Gidens (Bryant 1985). Kolakowski menjabarkan positivisme sebagai kumpulan ‘aturan’ dan kriteria evaluatif untuk merumuskan ‘pengetahuan’ manusia yang terdiri dari empat aturan yaitu:

1. Fenomenalisme: bahwa kita hanya bisa merekam apa dimanifestasikan dalam pengalaman. Fenomenalisme mengakui eksistensi namun tidak ‘esensi’. 

2. Nominalisme: Setiap ilmu pengetahuan adalah abstraksi, yaitu berupaya meringkas gambaran pengalaman, namun tidaklah memberikan kita pengetahuan lain di luar pengalaman. Abstraksi ini dapat digunakan untuk memahami bagian dari realitas yang tidak bisa diamati secara empiris. 

3. Menolak nilai-nilai dan pernyataan normatif sebagai pengetahuan: ‘nilai-nilai’ bukanlah adalah ciri atau sifat dari dunia yang sebenarnya dikarenakan sifatnya yang bervariasi tergantung pada budaya dan waktu demikian pula ‘norma-norma’. Nilai tidak diperoleh dengan cara yang sama seperti bagaimana pengetahuan diperoleh. 

4. Percaya bahwa semua metode ilmiah memiliki kesamaan secara esensial, yang menyatakan bahwa seharusnya tidak ada perbedaan dalam pendekatan ilmiah pada ilmu pengetahuan alam dan ilmu sosial budaya.

Paradigma fungsionalisme-struktural adalah salah satu paradigma yang berkaitan dengan epistemologi dan positivisme.

Pengaruh rasionalisme terhadap paradigma kritis dan pemikiran positivisme

Pasca rasionalisme sebagai aliran di dalam filsafat, kritik-kritik secara penuh sudah diberikan oleh filsuf-filsuf modern. Kritik tersebut bertahan hingga beberapa lama dan semakin menjauhi substansi kritik. Rasionalisme dipandang sebagai penyakit intelektual. Dan akan ditemukan banyak karangan (yang tidak dapat dihitung lagi) yang menjadikan rasionalisme sebagai “kambing hitam” dari merosotnya moral dan etika. Kritik ini terdengar sangat klasik dan kehilangan subjek vitalnya mengingat rasionalisme muncul dalam berbagai dimensi.

Suatu hal yang menarik, beberapa kalangan menolak rasionalisme dengan dalih tidak setujuan terhadap konsep objektivitas. Sanggahan ini juga kehilangan subjek vitalnya di masa sekarang mengingat, objektivitas juga membuka ruang keberpihakan dan intervensi nilai. Perkembangan paradigma dan bentuk masyarakat komunikatif pada akhirnya yang akan menentukan pergeseran konsep objektivitas.

 Positivisme hukum dikenal juga sebagai teori hukum yang menganggap bahwa pemisahan antara hukum dan moral, merupakan hal yang teramat penting. Positivisme membedakan apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai standar hukum yang valid dan apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai standar moral yang valid Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diiringi dengan cara berpikir positivistik .di satu sisi memang telah membawa kemajuan sains dan teknologi, namun pada sisi lain, positivisme juga telah membawa kerusakan dalam kehidupan sosial dewasa ini, di mana sains dan teknologi tidak bertujuan untuk memanusiakan manusia, melainkan bersifat manipulatif dan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Kritik Teori Kritis terhadap paradigma positivisme tentu tidak terlepas dari pengaruh idealisme filsafat Jerman yang dipengaruhi oleh filsafat Kritisisme Immanuel Kant.45 Paradigma positivisme secara ontologis telah menghilangkan aspek kebebasan sebagai bagian terpenting dalam diri manusia. Kebebasan manusia sudah terkooptasi oleh sistem kapitalisme, di mana dalam istilah Max Horkheimer dijelaskan sebagai otonomi subjek yang semakin tereduksi oleh sistem. Oleh karena itu, Horkheimer sangat menghargai pemikiran Filsafat Kritisisme Kant yang menemukan otonomi subjek. Dengan mengikuti Filsafat Kritisisme Kant, Horkheimer ingin meyakinkan bahwa Teori Kritis Mazhab Frankfurt pada dasarnya juga dalam rangka untuk menemukan atau mengembalikan hak-hak dasar manusia yakni kebebasan dan otonomi subjek. 

 Positivisme menganggap adanya metode ilmiah tunggal yang dapat diberlakukan pada seluruh bidang kajian dan bersifat netral. Menurut para teoretikus kritik, positivisme dinilai cenderung verifikasi (menuhankan) dunia sosial dan memeliharanya sebagai proses netral, mengabaikan sekaligus mengerdilkan aktor menjadi entitas pasif yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan alamiah. Teori Kritis Mazhab Frankfurt percaya bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk mengangkat kesadaran manusia untuk berkontribusi pada perubahan sosial. Sementara bagi positivisme, tujuan pengetahuan adalah perumusan hukum sosial.

 Kemudian jika ditinjau dari paradigma positivisme memisahkan antara teori dengan praksis manusia. Hal ini disebabkan positivisme bersifat netral terhadap objeknya. Kenetralan positivisme dapat digambarkan sebagai sesuatu yang tidak bermaksud mempengaruhi fakta yang hadir di hadapannya. Padahal menurut Teori Kritis, teori tidak semestinya berada pada dirinya sendiri, melainkan teori harus mampu memberikan solusi atas permasalahan yang dibongkar. Positivisme memandang fakta sebagai fakta lahiriah apa adanya (objektif). Sifat positivisme terhadap realitas sosial kemasyarakatan menekankan pada kepentingan teknis. Akibatnya semua digeneralisasi seperti diibaratkan benda yang pasif. Menurut Mazhab Frankfurt, positivisme tidak lagi murni sebagai teori pengetahuan, melainkan telah menjelma menjadi suatu ideologi baru yang berperan penting pada masa kapitalisme akhir yang mendukung penyesuaian dengan kehidupan sehari-hari.

 Terkait kritik terhadap positivisme, Teori Kritis menganggap bahwa positivisme hanya sekadar menyingkap tabir makna atas realitas sosial, tanpa memiliki upaya yang lebih serius dalam melakukan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Positivisme telah menjadi ideologi terhadap semua unsur ilmu pengetahuan, dan memisahkan dirinya dengan kehidupan praksis. Inilah yang menjadi kritikan tajam dari kalangan Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang berupaya menciptakan pencerahan sekaligus pembebasan atas ‘mitos’ yang dialami oleh manusia modern. Bagi Teori Kritis, ilmu pengetahuan diciptakan untuk membebaskan manusia dari segala belenggu dominasi.

Daftar Pustaka

Fajarni, S. (2022). Teori Kritis Mazhab Frankfurt: Varian Pemikiran 3 (Tiga) Generasi Serta Kritik Terhadap Positivisme, Sosiologi, dan Masyarakat Modern. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 24(1), 72. https://doi.org/10.22373/substantia.v24i1.13045

Izzah, I. Y. U. (2013). Immanuel Kant: Filsafat Kritis Sintesis antara Rasionalisme dan Empirisme. Filsafat Sosial, 51–72.

Masykur, F. (2019). Metode Dalam Mencari Pengetahuan: Sebuah Pendekatan Rasionalisme Empirisme dan Metode Keilmuan. Jurnal Tabawi, 4(2), 57–68. https://stai-binamadani.ejournal.id

Muthmainnah, L. (2018). Tinjauan Kritis Terhadap Epistemologi Immanuel Kant (1724-1804). Jurnal Filsafat, 28(1), 74. https://doi.org/10.22146/jf.31549

Nurohman, M. A. (2020). Rasionalisme dan Empirisme Dalam Filsafat Ontologi. Dewantara, IX, 19–26. http://ejournal.iqrometro.co.id/index.php/pendidikan/article/view/123

Sandiah, F. A. (2012). RASIONALISME DAN RELEVANSI KONTEMPORER ( Alam Pemikiran Descartes , Spinoza dan Leibniz ) Oleh : Fauzan Anwar Sandiah. 1–14.


Post a Comment

0 Comments