Asas Tunggal Pancasila, Memaknai Kembali “Stabilisasi” Politik Indonesia



Asas Tunggal Pancasila,  
Memaknai Kembali “Stabilisasi” Politik Indonesia

Oleh Amsar A. Dulmanan, 

Pada awal Orde Baru berdiri, tahun 1966 Soeharto dan para pendukungnya yang didominasi oleh ABRI dan sebagian kecil kelompok sipil ingin memposisikan kembali Pancasila sebagai ideologi negara. Keinginan tersebut oleh Orde Baru dimaknai sebagai stabilisasi Politik dan stabilisasi pembangunan ekonomi. Langkah penguatan ideologis  didasari dari  kesejarahan kekuasaan Indonesia, yang dipenuhi  bermacam  konflik-konflik dan pertentangan dalam kelompok masyarakat, dalam partai politik atau pada elite di institusi kenegaraan, terutama pada persaingan, polarisasi dari kepentingan politik dan ideologis yang melatarinya.
Menurut Orde Baru, akar dari keterpurukan Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat adalah penyelewengan-penyelewengan dan penghianatan mendasar dimasa kekuasaann Soekarno atau kekuasaan sebelumnya terhadap ideologi Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itu tatanan politik baru yang dibangun, --setidaknya dalam klaim Soeharto, ialah keharusan untuk mendasarkan diri pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara “murni” dan “konsekuen”. 
Pada akhirnya prinsip “konstitusionalisme” ini yang dijadikan landasan Orde Baru untuk memperoleh legitimasi kekuasaannya sekaligus menghilangkan perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat yang dianggapnya membahayakan stabilitas negara. Dalam hal ini “rezim” Orde Baru berkehendak menciptakan tatanan sosial (social order) baru yang mampu menjaga stabilisasi politik yang menjadi prasyarat bagi pembangunan ekonomi nasionalnya. 
Dalam usaha menjaga stabilitas sosial politik dan pembangunan ekonomi nasional, Soeharto dengan Orde Barunya membentuk format politik baru. Yaitu dengan melakukan pendekatan politik untuk mengingatkan serta meneguhkan kembali kesadaran “politik” masyarakat  Indonesia terhadap keberadaan Pancasila sebagai ideologi dan dasar dari pelaksanaan kekuasaan atau  penyelenggaraan pemerintahan, disamping upaya  implementatif dari keinginan mewujudkan cita dan tujuan negara dalam konsepsi Indonesia sebagai Negara Kesatuan berbentuk Republik.  
Signifikasinya adalah tindakan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pelarangan terhadap penyebaran paham Marxiame-Leninisme-Komunisme, juga de-ideologisasi, fusi atau penyederhanaan partai, de-parpolisasi, politik massa mengambang “floating mass”, monoloyalitas birokrasi atau birokratisasi, ideologisasi Pancasila hingga menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan, bagi partai politik dan Golongan Karya. 
 Perioritas stabilisasi politik dan ekonomi –tugas pokok kabinet Ampera, yang terkonsentrasi pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional, Orde Baru membangun korporatismenya bersama ABRI, Golkar dan kelompok-kelompok profesional yang dikehendaki, yang sekaligus menjadi bangunan penyanggah kekuasaan atau rezim (regime) pemerintah, “modernisasi” dan kapitalismenya dalam proses pembangunan yang direncanakan –Rencana Pembangunan Lima Tahun  (Repelita)  Orde Baru. 
Untuk menjaga stabilitas, utama pada kepentingan ideologisasi Pancasila tersebut, Orde Baru membentuk sebuah kekuasaan negara yang perfeksionis, “manunggal” dan terintegralistik sebagai sistem pemerintahan.  Negara, bagi Orde Baru merupakan satu kesatuan antara kekuasaan (power), otoritas (authority) dan legitimasi (legitimacy). Dalam hal ini kekuasaan adalah kapasitas untuk mempengaruhi pihak lain, otoritas menunjuk pada hubungan  dan relasi kuasa “pembuat” kebijakan dengan warga negaranya, sedang legitimasi  tidak saja didasari pada  “karismatik” dari tradisi –Jawa— maupun secara rasional, melainkan juga merupakan otoritas yang  yang diperoleh melalui kekuasaan dan paksaan.  
Negara, oleh Orde Baru dan Soeharto dibuat kuat serta menjadi pusat penyelenggaraan kekuasaan dari sitem politik korporatismenya, yaitu sebagai “negara korporatisme” (state corporatism) yang tentu saja sangat birokratik otoriterianisme. Negara atau pemerintah berperan sangat sentral, mengawal dan mengawasi program –program yang dijalankan, bahkan Negara –bagi Orde Baru-- menjadi alat represif, yang memaksa lewat kekerasan aparatusnya (Rerepressive state aparatus). Sementara pada kebutuhan ideologisasi Pancasila, negara masif memobilisasi kesadaran partisipatif masyarakatnya dilakukan melalui program pendidikan moral Pancasila (PMP) dan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Ekaprasetia Pancakarsa. Pada peran kedua tersebut, Orde Baru menjadikan negara sebagai aparatus ideologi (ideological state aparatus) yang bekerja secara persuasif, tersamar tetapi sangat ideologis.
Orde baru, praktek-praktek kekuasaannya dilakukan secara komprehensif, tidak hanya dijalankan atau diatur oleh institusi “negara” tetapi juga sangat ditentukan oleh “ideologi” serta dituntun  oleh kondisi pragmatisme.  Kesemuanya terpola sebagai tindakan dominasi dan hegemoni dari kepentingan-kepentingan politik yang  mau dicapai, termasuk kepentingan legitimasi terhadap kekuasaan orde baru, namun satu hal yang tercermati kekuasaan yang dijalankan selalu berawal dan berpijak secara konstitusional. Dalam hal ini, Orde Baru melakukan kekerasan dan paksaan sebagai pelaksanaan konstitusi, perundang-undangan dan peraturan pemerintah.
Orde Baru, atas nama negara bisa meletakan tindakan dan upaya politik yang dilakukan merupakan pengejawantahan dari kepentingan bersama atau manifestasi dari konstitusi  sehingga aparatus  menjadi  absah menjalankannya dengan mempergunakan kekerasan (coersive) atau meyakinkan dalam  perubahan yang menuntut  tindakan-tindakan  persuasif (persuasive action) dari pemerintah, atau dari negara.  
Seperti pada ideologisasi Pancasila sebagai asas tunggal, dalam hal ini Orde Baru memarginalisasi konsepsi “primordialisme” yang menjadi ideologi “khas”—meminjam  Deliar Noer-- dalam kelompok masyarakat atau dalam partai politik untuk tidak menjadi “mainstream” kehidupan politik kenegaraan, juga tindakan “kekerasan” terhadap ideologi “agama” terutama dari kelompok Islam atas keinginannya menggantikan Pancasila dan UUD 1945 dengann “Piagam Jakarta”, yang meletakan syariat Islam sebagai asas berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini  Pancasila sengaja diproduksi sebagai “diskursus” kebenaran yang diposisikan  menjadi ideologi nasional, tidak ada yang lainnya.
Pada aspek lain,  Soeharto tidak hanya meletakkan Pancasila sebagai ideologi nasional, tetapi sekaligus sebagai alat legitimasi kekuasaan. Akibatnya, siapa yang dianggap sebagai “musuh” rezim selalu diidentifikasikan  sebagai “musuh Pancasila”,  menolak apa yang menjadi kebijakan Orde Baru atau Soeharto tentang tatanan ideologis dalam kehidupan bernegara adalah menolak Pancasila. Dalam konteks itu, Orde Baru dalam meneguhkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar falsafah dan konstitusi negara dilakukan secara top-down, dominatif dan represif,  dan dalam satu tafsir. Sehingga dalam perspektif lain, akhirnya justru mengebiri demokrasi, partisipasi dan kebebasan serta kebhennikaan yang telah ada di masyarakat Indonersia. 
Kemudian  pola politisasi, dominasi dan hegemoni Orde Baru mengenai Pancasila lewat penyeragaman asas,  selalu tidak pernah bisa dilakukan secara total. Selalu saja ada ruang yang dimanfaatkan kelompok-kelompok individual maupun sosial, yang berada di luar jangkauan kontrol pemerintah menjadikannya sebagai ruang “negosiasi”. Pengalaman Nahdlatul Ulama (NU) dalam menerima Pancasila sebagai asas tunggal misalnya, memperlihatkan bagaimana desakan (hegemony) Orde Baru dinegosiasikan dengan identitas,  nilai dan otoritas keNUannya. 
Melalui cara tersebut para kiai atau “elite” di luar kekuasaan mampu menerima Pancasila secara sukarela dan elegan. Respon yang ditunjukan bahwa organisasi kemasyarakatan dan keagamaan berhasil menginterpretasikan “dogmatisme” keagamaan terhadap  masalah-masalah kebangsaan dan kenegaraan, terutama kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan bangunan politik Indonesia yang begitu majemuk, sembari berusaha agar aturan-aturan keagamaan tetap dihormati, tanpa meninggalkan atau menegasikan ketauhidannya. Lebih jauh dalam proses ”menyesuaikan” ternyata telah mengkondisikan umat Islam untuk mereinterpretasi ajaran-ajarannya agar kompatibel dengan tuntutan zaman sehingga dengan demikian bisa menjawab masalah-masalah keumatan dan kebangsaan. 
Bahkan blessing in disguise bahwa penerimaan asas tunggal telah mendorong komunitas Islam untuk membangun alternatif gerakan sosial keagamaannya terhadap gerakan Islam “politik” yang cenderung bersifat legalisme minded. Gerakan dan kesadaran baru ini umumnya mengubah orientasi perjuangan umat Islam ke arah yang bersifat sosio-kultural seperti menggiatkan pendidikan, demokratisasi, pluralisme, pengembangan hak-hak asasi dan mengenai kemanusiaan.  Sehingga pasca penerimaan asas tunggal, hubungan Islam dan negara menjadi harmoni (harmonious)  dan sinkron (syncrounous) tanpa harus  mempertentangkan Pancasila dan agama ataupun  sebaliknya.
Sisi lain secara teoritis, memperlihatkan bahwa dominasi dan hegemoni oleh negara tidak pernah bisa dilakukan secara total. Seperti dalam hal “ideologisasi” Pancasila, banyak respon perlawanan dan negosiasi komunitas Islam –juga lainnya-- terhadap asas tunggal. Respon yang muncul mengisyaratkan bahwa ruang pemaknaan politik sebenarnya tidaklah homogen. Dalam ruang politik Indonesia yang heterogen semacam ini individu atau komunitas bisa menafsirkan Pancasila atau melakukan pemaknaan “ideologis” politiknya secara berbeda dan mengekspresikannya dalam tata kehidupan secara berbeda pula. Realitasnya kerap saling bertentangan satu dengan lainnya, bahkan pada hal tertentu menimbulkan konflik “kepentingan” terhadap kekuasaan di berbagai pelapisan, infrasruktur ataupun pada  suprastruktur,   termasuk negara.
Tetapi yang patut dipahami adalah bagaimana Orde Baru menguatkan basis ideologi dengan mengunakan institusi kekuasaan dan negara, kemudian membangun institusi penopang atau penyanggahnya dan melakukan pemaknaannya sebagai  kekuasaan yang korporatisme. Sementara korporatisme yang dijalankan searah dengan tuntutan pada proses pembangunan ekonomi dengan tahapan program yang hendak dilakukan (Repelita) Orde Baru telah memposisikan pemerintahannya pada karakteristik sebagai negara otoriterianisme birokratik.
Kenyataan politik dan kekuasaan Orde baru memang sejalan dengan  proses ideologisasi yang dilakukannya, yang pernah diingatkan oleh Louis Althusser, yaitu secara otoritatif melalui pendekatan “repressive State Aparatus” (RSA) yang bekerja dengan penggunaan kekerasan. Dan melalui “Ideological State Aparatus” (ISA) yang melakukan peran dan fungsi persuasif, tersamar dan ideologis dengan memanfaatkan institusi keagamaan, pendidikan, keluarga, media massa, juga segenap  institusi yang bisa dijadikan sarana sosialisasi peneguhan ideologi Pancasila tersebut.
Ideologisasi  Pancasila yang dilakukan Orde Baru atau Soeharto, terutama pada kebijakan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan organisasi kemasyarakatan, partai politik dan Golongan Karya,  adalah sebatas kepentingan kekuasaannya untuk memaknai stabilisasi perubahan politik Indonesia dari beragam konflik dengan beragam paradigmatiknya, termasuk di dalamnya adalah kekuatan-kekuatan ideologis. Pada kepentingan tersebut, penguasa Orde Baru melalaikan bahwa ideologi secara substansial tidak pernah bisa dinegasikan bahkan dihilangkan atau dimusnahkan, kecuali sebatas proses-proses yang dijinakkan dan dimarginalisasi ataupun ideologi yang  diproduksi menjadi dominan (dominance), sebatas tindakan hegemoni untuk menumbuhkan kesadaran politik dan bernegara.
Hegemoni adalah cara yang tersamar, evolusif, dengan efektifitas  pengelolaan ideologi agar diterima oleh kelompok masyarakat dengan kepatuhan dan penundukan tanpa menggunakan atau melalui represi kekerasan dan paksaan.  Hal tersebut lupa dilakukan dan terabaikan oleh Orde Baru, ideologisasi Pancasila dibangun dengan pengawalan aparatus negara, yaitu militer, polisi dan lembaga pengadilan dengan tujuan  memperjuangkan legitimasi kekuasaannya. 
Padahal, Gramsci mengingatkan, upaya memantapkan legitimasi kekuasaan atau hegemoninya dituntut kemampuan penguasa membuat kelompok massa menerima prinsip-prinsip, ide-ide, norma-norma dan nilai-nilai  sebagai dan menjadi “milik”-nya, milik bersama juga. Seperti keberhasilan Orde Baru tehadap NU ketika harus menerima Pancasila secara organisasi, yang ditetapkan melalui perdebatan ideologis antara Agama dan Pancasila dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983. 
Namun kegagalannya adalah ketika ideologisasi Pancasila dilakukan  secara hegemonisasi tetapi bersamaan dengan tindakan-tindakan dominasi, yang mengandalkan tindakan represif  dari aparatus-aparatus ideologinya.  Disinilah kegalan itu dapat dicermati, yaitu ketika “negara” Orde Baru bersikukuh memaksakan ideologinya dan negara merekayasa “kesadaran” masyarakat terhadap ideologi Pancasila dengan perspektif “asas tunggal”, sebatas “tafsir” kekuasaan Soeharto.  
Sepanjang kekuasaannya, Orde Baru tidak membentuk kesadaran yang secara substansi mendukung kekuasaan negara, melainkan sebaliknya justru menumbuhkan “ilusi” dari kepatuhan dan kesadaran palsu, yaitu sebatas memenuhi “legitimasi” politis dari kekuasaannya, sebuah kebutuhan politik pragmatisme dari kepentingan  “privilege” kelompok bersangkutan. Sehingga ketika negara terpuruk (krisis)  tidak dapat memberi jaminan terhadap hal  tersebut, radikalisme ideologis muncul mengedepan kembali, signifikansinya terlihat dalam beberapa kasus perlawanan di daerah-daerah  seperti pada kasus Lapangan Banteng, peristiwa Tanjung Priok, Talangsari Lampung, peledakan Borobudur, gereja, BCA hingga terrisme yang terjadi saat ini.
Kembali pada konsepsi bahwa ideologi tidak  bisa dimusnahkan, selalu mendinamisasi dirinya sebagai kesadaran yang diyakini banyak orang, kelompok-kelompok atau dalam institusi partai politik. Dari pengertian ini setidaknya Orde Baru telah mempola sebuah kesadaran politik tentang  keharusan Pancasila menjadi ideologi negara searah dengan kesadaran ideologis dalam kehidupan bersama dalam kelompok masyarakat, menjadi bangsa dalam negara Indonesia. Untuk itu Pancasila dan Agama atau ideologi lainnya tidak bisa saling menegasikan, melainkan saling mengisi dalam harmonisasi dan sikronisasi ideologis, yang saling melengkapi. 
Namun  dalam konteks Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat dengan keragaman adat, tradisi, bahasa, suku dan agama-agama yang kesemua dipahami sebagai kebhennikaan Indonesia, setidaknya menuntut satu pengertian bersama tentang Pancasila sebagai ideologi dan dasar bernegara yang mendinamisasi  watak pluralisme dan keterbukaannya. Tuntutan ini pun ternyata tidak dapat dipenuhi oleh pemerintahan Orde Baru dan belum menjadi  tanggungjawab  untuk “bersama” mengingatkan tentang relasi serta posisi ideologi Pancasila dengan ideologi-ideologi lain --yang menjadi keyakinan ideologis dari perorangan, kelompok masyarakat atau  partai–partai politik,   tentu saja tanpa tindakan kekerasan apapun dan dari siapapun, selain ketegasan sikap  meyakini bahwa Pancasila secara  “politis’ telah menjadi  “ideologi” Negara Kesatuan Republik Indonesia.*
Jakarta. 20 Mei 2016

Penulis adalah Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), saat 
ini kandidat Doktor “Filsafat” Politik di Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya 
(FIB)-Universitas Indonesia. 

Dimuat dalam Jurnal Konfrontasi, Volume IV, No. 2, Juli 2015.

Alamat: 
Jl. Taman Amir Hamzah No. 5 Jakarta Pusat 10320. Email: Amsarad@yahoo.com





Post a Comment

0 Comments