Sajak Tentang Zaman

Ada sebuah zaman dimana Tuhan dan setan bukanlah dua sisi yang saling bertentangan.
Zaman di mana agama adalah sebuah kata yang tidak dikenali oleh pikiran manusia.
Zaman di mana kedamaian adalah sebuah hal yang lumrah ditemukan pada hati semua orang. 
Zaman di mana kucing masih hidup dengan kodratnya yaitu memakan tikus.
Zaman di mana singkong dan kopi selalu memberikan solusi dari berbagai macam persoalan.
Zaman di mana kita masih mempercayai bahwa letusan gunung adalah sebuah berkah bukan musibah. 
Zaman dimana kidung-kidung suci tentang keindahan Alam Semesta masih sering didendangkan. 
Zaman dimana suara seruling dan kecapi saling bersahutan di gelapnya malam.
Zaman di mana aroma wewangian  selalu tersebar dari ujung desa sampai hutan belantara.

Tetapi semenjak berbagai macam agama masuk ke negeri ini mulailah jaman yang tadinya sulit untuk digambarkan keindahannya lewat kata-kata, mulai kehilangan keindahannya. 

Kedamaian yang tadinya menjadi hal yang lumrah kini tinggalah kedamaian yang dijanjikan akan ada setelah kematian. 

Mereka datang dengan mengaku sebagai pembawa wahyu Tuhan...
Mereka datang dengan membawa misi perdamaian pada orang yang sudah damai...
Mereka datang dengan menawarkan sebuah peradaban pada kita yang sudah beradab... 
Mereka datang dengan sekarung beras dan sebuah balok kayu untuk diimani kepada kita yang sudah menganggap Alam Semesta sebagai Saudara Tua!
Mereka datang dengan segudang teori ketuhanan pada kita yang sudah melebur pada tindakan yang mencerminkan manusia berTuhan. 

Terus, bagaimana mungkin mereka bisa merasa bahwa dirinya telah membawa kebaikan hanya karena telah memberikan penerangan sebuah lilin kecil pada kita yang diasuh oleh Bintang dan Rembulan? 

Peradaban kita sudah jauh melampaui teori-teori yang ada dalam kitab suci, jadi tak perlu dibandingkan antara kerikil dengan berlian. 

Sungai-sungai kita jauh lebih suci ketimbang Gangga dan Yamuna. 
Gunung-gunung kita lebih sakral ketimbang Himalaya. 
Kita menjaga kehormatan wanita dengan cara memuliakannya bukan dengan cara membungkusnya.
Kita memilih Hari Raya berdasarkan bulan dan bintang, bukan karena memperingati sejarah seseorang yang dianggap membawa wahyu Tuhan. 

Bangunlah Nak, bangunlah dan kembalilah...

Sudah cukup kalian belajar hal lain yang tidak selaras dengan alam hanya untuk menemukan kebahagian- kebahagiaan yang didapat setelah mati. 
Kebahagian dan kedamaian itu sudah kalian miliki sejak lama. 
Namun kalianlah yang meninggalkannya demi sebuah iming-iming kedamaian setelah kematian.
Percayalah, kalau di masa hidup kalian tidak menemukan kedamaian, maka mustahil pula kedamaian akan kalian terima setelah Kematian. 
Sudah terlalu banyak yang kalian korbankan dan jangan kalian tambah lagi. 

Waktunya untuk pulang Nak, ibumu sudah lama menunggu kalian...
Bangun dan sentuhlah Ibu Pertiwimu, seraya berkata.. :
"Aku kembali Ibu..."

Salam Rahayu Kamulyaning Jagad

Penulis: Anonim

Post a Comment

0 Comments