Lori Tebu



Madiun, cultuur stelsel menyulapnya menjadi ladang tebu dan tebaran pabrik gula. Sekitar tahun 1970an, saat aku masih TeKa sampai SD, musim panen tebu dan giling selalu dinanti. Pembukaan musim giling ditandai dengan keramaian pasar malam di halaman pabrik gula. Ada pagelaran wayang kulit juga. Pokoknya meriah dengan tontotan dan bakul2 jajanan khas pasar malam. Ada kacang  conthong (bungkusnya dari kertas bekas yg dibentuk kerucut), tahu petis, martabak, ganyong godog, jenang kalung (dodol yg dibentuk bulat kecil2, dibungkus gedebog pisang kering dan diuntai mirip kalung manik2) dan masih banyak lagi. Sayang, tak bisa sering nonton bukaan giling karena pabrik tebu jauh dari rumah (harus naik bus yg body-nya dr kayu itu). 

Musim tebu dan giling, surga bagi anak2. Pesta nyolong tebu dimulai, baik di kebun dengan resiko ketahuan mandor dan dikejar, maupun ndudut (menarik) langsung dari lori. Kegiatan yang ndudut tebu itu punya keasyikan tersendiri, sambil berlari mengejar lori tangan meraih random tumpukan tebu lalu menariknya. Bahaya? Yaiyalah, tapi anak kecil mana yg paham bahaya? Tahunya cuma bertumpuk2 tebu nan manis melintas didepan mata, eman kalau dilewatkan. Padahal tak selalu berhasil ndudut tebunya, seringkali malah zonk karena ikatan bongkokannya yg kencang. Tapiiiii, saat berhasil ndudut, rasanya wuahnya mengalahkan jadi juara 1 di kelas 😂

Nah, rumah eyangku dilewati lori tebu. Saban musim panen, lori2 hilir mudik. Bersama 2 bulik (bibi) yang usianya terpaut 4 & 6 tahun dariku, kami setia menunggu lori nomor tertentu (kalau gak salah ingat no 6 dan 9) lewat. Tentu saja untuk menunggu tebu dilempar ke halaman rumah. Ndilalah, musim panen seringkali berbarengan dengan musim libur sekolah, setiap libur panjang aku selalu menginap di rumah eyang. 

Eh enak bener sebongkok tebu pilihan yang thek (tebu tua berbunyi thek dr kulit yg pecah saat dipukul, dijamin tebunya maniiiis) dilempar ke halaman? Iya masinisnya mantan murid yangkung-ku. 

Jadi ceritanya begini, kami pernah ketahuan masinis saat  "balapan" dgn lori khusus buat ndudut tebu, salah strategi sih, ndudut dari lori bagian depan dekat lokomotif. Ya jelas ketahuan dong. Dibentaklah kami oleh masinis dari atas lok. Nah tapiii, sejak saat itu pak masinisnya malah setia melempar sebongkok tebu thek yg sudah dipotong semeteran ke halaman rumah eyang. Waaaaaah, rejeki besar itu, tinggal duduk nunggu lok warna hijau no 6 atau 9 lewat dan bruk, tebu mendarat sempurna di pelataran rumah. 

Tentu saja yangkung jadi heran kok mendadak dapat kiriman tebu? Usut punya usut, rupanya masinisnya mantan murid beliau. Di desa profesi guru jaman dulu kajen banget (sangat dihargai), apalagi kepala sekolah. Meski sudah pensiun, wali murid masih kerap bertandang dengan rinjing (keranjang anyaman bambu yg digendong pakai jarit) berisi jadah, jenang, wajik, beragam kripik umbi2an. 

"Ora pareng playon ndudut tebu, bahaya kui nek tiba terus keplindes piye? Pingin maem tebu, mundut ning pasar. Barang murah wae kok (tidak boleh narik tebu dari lori, bahaya itu. Kalau ingin makan tebu, beli aja dipasar. Wong murah kok)" Teguran keras dari yangkung ketika tahu putri dan cucunya demen ndudut tebu dari lori. Lhaaaaa, mana enak tebu beli dipasar? Sumprit, tebu colongan dari lori jauuuuh lebih manis krn jelas tebu tua dan pilihan 😂

Sekarang rel lori depan rumah eyang tinggal kenangan. Berpuluh tahun lalu, tahun 1980an, rel-nya sudah dicopot dan jalan diurug. Gang kecil rumah eyang sepi dari lengking peluit lokomotif, tak ada lagi bunyi geradagan keras lori2 yg ditarik lokomotif. Tebu2 diangkut menggunakan truck dan pelan tapi pasti, pabrik gula dekat rumah eyang semakin sepi dan lalu ditutup menyusul pabrik2 gula lain di wilayah Madiun. 

Cultuur Stelsel pahit bagi rakyat di masa kolonial, manis bagi anak2 di tahun 70an. Sepotong kenangan indah tentang masa kecil, tak terlupa.

Post a Comment

0 Comments