Menuju Indonesia yang Adil dan Berdaulat *)



Oleh: Marlin Dinamikanto

Jalan Ketiga – sebagaimana diungkap Anthony Giddens tidak menawarkan alternative apa pun di tengah pertempuran sengit perang dingin antara blok Kapitalisme Vs Sosialisme di pertengahan hingga penghujung Abad ke-20 – selain wacana intelektual yang banyak dikagumi kalangan kutu buku. Jalan Tengah memang ibarat pelanduk yang akan mati di tengah – sebagaimana pernah diupayakan Soekarno lewat Gerakan Non Bloknya. 

Hingga perang dingin berakhir – ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin 9 November 1989 – Kapitalisme yang menawarkan kebebasan individu dalam gerak ekonomi yang ditulis Adam Smith dengan sebutan “tangan-tangan tak terlihat”, (The Invisible Hand), tampil sebagai pemenang, Gerakan Non Blok yang diprakarsai Soekarno, Jawaharlal Nehru, Tito dan lainnya – sudah lama terkubur tinggal nama. Masing-masing anggotanya melepaskan diri menjadi “boneka”atau “proxy” dari pertarungan yang seakan abadi antara Tom dan Jerry.   

Faktanya, pertarungan itu, sebagaimana ditulis Yoshihiro Francis Fukuyama – ilmuwan ekonomi politik keturunan Jepang berkewarganegaraan Amerika – dalam bukunya berjudul “the End of History and the Last Man” kapitalisme tampil sebagai pemenang tunggal peradaban sekaligus menguburkan “Sosialisme” yang menjadi semangat zaman pembebasan penghujung Abad ke-19 hingga awal Abad ke-20. Semangat pembebasan itu – tulis Fukuyama – kini masuk museum Tambo yang hanya akan dikenang oleh segelintir orang.

Tembok Berlin yang berdiri pada tanggal 13 Agustus 1961 adalah penanda yang paling nyata dari bergolaknya Perang Dingin antara Blok Sosialisme yang dipimpin Uni Soviet dan Blok Kapitalisme – atau versi Barat sebagai negara bebas – yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Dunia terbelah antara Leviathan – istilah yang dimunculkan oleh Hebbes - yang dipimpin oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno yang berusaha – mengutip istilah Bung Hatta – “mendayung di antara dua karang” ternyata kandas. Soekarno pun berakhir tragis, terguling dan wafat ketika menjalani tahanan politik. Sejak itu Indonesia yang resminya “Non Blok” diam-diam menjadi proxy AS dan sekutunya.

Soekarno yang berusaha menerapkan “politik bebas dan aktif” menjadi korban awal perang dingin. Soekarno tidak sendirian. Sejumlah kepala negara atau pemerintahan yang berusaha menerapkan politik bebas aktif seperti Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Aljazair Ahmed Ben Bella, Perdana Menteri Chili Allende, digulingkan melalui kudeta berdarah. Sejak itu Gerakan Non Blok yang dicita-citakan Soekarno sebagai New Emerging Forces (Nefos) hanya sekedar ada, namun kehilangan taring saat berhadap-hadapan – khususnya terhadap Blok Kapitalis yang membangun pertahanan teretorial di sejumlah kawasan. 

Setelah Tembok Berlin Runtuh – grup band rock asal Jerman “Scorpion” pun mengenangnya dalam lagunya “Wind of Change” – Dunia benar-benar dibekap dalam sistem perekonomian tunggal kapitalisme. China dan Vietnam yang berusaha mempertahankan merk sosialis – kini terlihat gigih mengejar pertumbuhan dan mulai sadar dengan efisiensi dan comparative advantage yang semula hanya dikenal dalam term kapitalis. 

John Naisbitt – penulis fenomolog AS yang bukunya “Megatrends” laku 14 juta eksemplar di 57 negara dan ditahbiskan “best seller”oleh Majalah Times selama dua tahun berturut-turut, telah meramalkan kebangkitan ekonomi China. Kini ekonomi China tampil sebagai yang terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Kebangkitan China tidak akan pernah terjadi apabila Deng Xiao Ping tidak membuat kutipan yang istilah sekarang viral : “Saya tidak peduli warna kucing itu apa. Apakah dia berwarna merah, hitam, kuning atau belang sekalipun. Saya hanya peduli kucing yang bisa menangkap tikus”. 

Negara-negara Barat yang dipimpin AS – paska kemenangan Kapitalisme atas Sosialisme – dengan jumawa menawarkan “Kitab Suci Globalisasi”. Setiap individu di mana pun berada berhak mendapatkan pasokan barang dengan kualitas terbaik dan termurah untuk memenuhi kebutuhannya. Pemberlakuan tarif ekspor/impor hanya akan menghambat efisiensi. Maka diperlukan regulasi ulang yang membebaskan setiap pelaku usaha untuk berusaha di mana pun di dunia. Proteksionisme yang muncul di abad pertengahan adalah musuh utama globalisasi. Negara yang sekedar difungsikan sebagai “penjaga malam” oleh ekonom liberal sejak Abad pertengahan mulai mendekati nyata. 

Negara hanya berperan mengadukan apabila ada yang melanggar Kitab Suci Globalisasi. Polisi Dunia yang berwenang memberikan surat tilang disebut World Trade Organization (WTO) yang awalnya mengajak sejumlah negara menyepakati General Agreement Trade and Tarif (GATT). Setelah itu berlaku zona-zona perdagangan bebas (free trade agreement) yang dimulai secara regional meningkat ke kawasan dan global. Ide dasar globalisasi yang berusaha dibajak oleh ide-ide neoliberalism adalah share prosperity – berbagi kemakmuran. 

Dalam perjalanannya, Kapitalisme yang sejak Tembok Berlin runtuh sebenarnya sudah terseok oleh dua krisis – 1997 dan 2008 – membuat suasana tidak nyaman justru oleh warga negara yang sebelumnya dikenal sebagai penyokong leberalisme pasar – seperti Inggris, Amerika Serikat, Perancis, Italia dan sejumlah negara Eropa Barat. Revolusi Teknologi Informasi yang berjalan tidak terkendali memicu terjadinya perubahan sosial secara besar-besaran. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Rhenald Kasali dalam bukunya menyebut “The Great Shifting” sebagai keniscayaan dari disruptive innovation – yaitu perubahan perilaku manusia dari peradaban industri ke peradaban digital. Warga negara Amerika Serikat – terutama kalangan pekerja – yang semula merasakan manisnya peradaban industri kini mulai merasakan perubahan besar itu. 

Populisme yang memenangkan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Presiden Trump dalam Pemilu Presiden AS November 2016, dan berhasilnya kaum nasionalis membentuk pemerintahan di Italia, adalah perlawanan nyata terhadap elite pemimpin dunia yang terkesima oleh Kitab Suci Globalisasi. China yang memiliki jumlah penduduk besar, pertumbuhan ekonomi luar biasa, produk yang melimpah, tampil sebagai raksasa baru yang mengancam kedigdayaan Amerika Serikat. Trump yang dalam kampanye acap menyerang China melakukan praktek perdagangan yang tidak fair mulai memaklumatkan Perang Dagang dengan China – dansejumlah negara sekutu tradisionalnya Uni Eropa. Globalisasi mendapatkan perlawanan Proteksionisme yang disokong oleh kebangkitan populisme di sejumlah negara – dan terakhir kali Brazil. 

Begitulah sekelumit diskusi di kantor aktivis senior Indra Nababan di kantor. Hadir dalam diskusi itu, selain Indra Nababan selaku tuan rumah, juga sastrawan senior Simon Hate, Bambang Isti Nugroho, dan saya, Marlin Dinamikanto. Dengan kata lain, kita, Indonesia, sudah terperangkap dalam sistem kapitalisme yang akut sejak era orde baru. Kenyataan ini akan memberikan dampak sosial yang luar biasa. Sebut saja, zaman dulu ada semboyan hemat pangkal kaya. Kalau mau menjadi kaya itu ya menabung. Tapi sekarang uang yang ada harus dipaksa beredar untuk menggerakkan perekonomian. 

Memang, sekarang hampir semua negara sudah kapitalis. Termasuk Indonesia. Namun bukan berarti tidak ada konflik di antara negara-negara kapitalis. Perang Dagang mungkin tidak benar-benar terjadi. Namun perang dingin di antara negara-negara besar – khususnya Amerika Serikat, China, Uni Eropa, Rusia dan Inggris akan terjadi. Di Indonesia itu sendiri, perang kepentingan di antara negara-negara besar, melalui masing-masing komprador (kaki tangan, calo kepentingan) yang sudah pasti ada, akan semakin meruncingkan kekamian di antara kelompok masyarakat yang sudah terbelah. Indonesia akan sulit menjadi “kita” untuk menegaskan jati dirinya sebagai sebuah negara-bangsa.

Tentu saja di antara kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia tidak boleh meruncingkan pertentangan yang sadar maupun tidak sadar akan menjadi proxy di antara negara-negara bertikai. Kepentingan nasional harus dirumuskan. Atau memang “kita” membiarkan diri menjadi kapas yang tertiup angin. Menginduk kepada siapa saja negara yang dianggap kuat. Kalau ini yang terjadi, pada akhirnya Negara Republik Indonesia berada dalam ancaman yang krusial. Terlebih kesenjangan sosial di Indonesia masih terhitung besar. Kelas menengah yang muncul gagal menampilkan diri sebagai civil society – terlebih mereka yang dibesarkan oleh sistem rente yang memilki akarnya sejak rezim ersatz capitalism (kapitalisme pura-pura) yang berkembang sejak Orde Baru.

Dengan kata lain, syarat untuk menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sebagaimana amanat konstitusi, apa saja yang perlu dilakukan. Tentu saja itu tidak bisa dilakukan secara parsial. Misal bagaimana cara mengatasi kesenjangan sosial, ketimpangan penguasaan lahan, hingga ke persoalan dalam mengatasi konflik di masa lalu yang selalu menjadi pekerjaan rumah dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Konstetasi Pemilihan Presiden hemat kami tidak akan pernah menyelesaikan persoalan kebangsaan hari ini. Siapa pun pemenangnya.

Untuk itu, kami mengundang sejumlah akademisi, pemikir dan budayawan untuk mencari terobosan dalam mengatasi stagnasi yang dalam pandangan kami akan memperkokoh soliditas kebangsaan kita ke depan. []

*) Sebagai pengantar diskusi di Guntur 49, Kamis, 6 Desember 2018

Post a Comment

0 Comments