Namun dalam perspektif humanisme, Gus Dur adalah sosok yang konsisten dan mememiliki kenekatan luar biasa ketika memperjuangkan dan menyangkut hal-hal prinsip kemanusiaan – terutama hak bicara atau hak berpendapat, hak politik dan kebebasan berekspresi, hubungan antar agama, dan misi perdamaian serta mengenai hak paling dasar yakni Hak Asasi manusia.
Bagi Gus Dur perbedaan etnik, bangsa, warna kulit, bahasa, profesi, hobi, bahkan agama dan keyakinan merupakan suatu keniscayaan yang perlu dihormati, dihargai dan tidak akan menjadi kendala dalam pergaulan antar manusia. Justru perbedaan-perbedaan tersebut merupakan anugerah “kodrati” yang mesti disyukuri dan dipahami sebagai pluralisme sosial atas kemanusiaan manusia.
Disinilah Pluralisme pemikirian Gus Dur bukan berarti generalisasi terhadap kebenaran, tetapi sebuah paham yang mengajarkan kesadaran bahwa di luar keyakinan yang kita pegang, ada keyakinan-keyakinan lain yang berbeda, sebagai keberagamaan dan kemajemukan yang tertakdirkan. Menurutnya, pluralisme mengajarkan kesadaran kepada penganut agama (terutama Islam) akan adanya manusia dalam kelompok-kelompok suku, adat istiadat, ras dan bahasa yang berbeda.
Maka dahulu bukan keistimewaan ketika Gus Dur hadir untuk Aswendo Atmowiloto --pengasuh tabloid Monitor yang dianggap menghina Nabi Muhammad SAW, atau pada Inul Daratista, dan Ulil Abshar Abdalla --anak muda NU yang menjadi salah seorang tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal). Gus Dur melakukan pembelaan terhadap mereka yang difatwa “Halal darahnya” oleh sebagian “pemuka” Islam, sehingga tindakannya menjadi sangat kontroversial di luar mainstream, berbeda dari kebanyakan orang berpikir. Bahkan pada sisi lain, Gus Dur tetap berdiri tegak membela orang yang berbeda pendapat atau berselisih paham tentang sesuatu hal dengannya—seperti dengan Amin Rais, karena dirinya menyakini bahwa perbedaan itu sesuatu yang memang patut disyukuri. Bagi Gus Dur tidak ada hal yang diciptakan Allah merupakan kemubajiran bagi manusia, terlebih manusia yang memang berpikir.
Untuk itulah pada pembelaan hak-hak kaum minoritas –utama non muslim, kaum perempuan, Gus Dur hadir sebagai intelektual, budayawan, pengamat sosial politik, atau sebagai institusi di mana Gus Dur berada, baik sebagai pribadi manusia, pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan negarawan –sebagai Presiden RI. Hal ini kentara saat Gus Dur memperjuangkan etnis Tionghoa Indonesia untuk mendapat posisi setara dan sejajar dalam keyakinan keagamaannya, yakni memperoleh hak ber-agama-nya di Indonesia.
Juga pada usulannya agar dicabutnya Tap/MPRS/XXV/1965 tentang penyebaran paham Marxisme-Leninisme dan Komunisme karena dinilai diskriminatif, dan menjadi bertolak belakang terhadap demokratisasi yang terjadi di Indonesia. Disinilah Gus Dur --secara substansial—konsisten meletakkan hak “politik” warganegara pada kebebasan menentukan pilihan, sekaligus untuk menghormati segala perbedaan sebagai partisipasi aktif dalam tata kehidupan politik kebangsaan.
Keteguhannya pada nilai, konsepsi tersebutlah Gus Dur menjadi tidak sama dan selalu kontroversial atas fakta serta realitas kediriannya. Sosok yang mewakili geneologi atas tradisi “keberagamaan” NU, sebagai pewaris “kiai” Jawa yang tradisionalis, elitis-karismatik, bahkan pada sisi tertentu begitu oligarkis serta peodalistik, serta syarat peneguhan hak-hak privilege, yaitu memilik hak istimewa pewaris “darah biru”.
Profetik kedirian Gus Dur mengemuka menjadi manusia “kosmopolitan”, moderat, egaliterian dan sahaja, sedangkan pada prinsip keberagamaan –keIslamannya—bila meminjam Paul Ricoeur, Gus Dur melakukan “tafsir” kreatif untuk mengaktualisasikan “Islam” yang tersurat dan tersirat. Baginya Islam bukanlah sebatas teks, melainkan sekaligus konteks dan kontektualisasi. Islam bukanlah tafsir yang stagnan pada “in the text” sehingga menjadi wafaq dan dogmatisme, melainkan pada “around the text” yang berbanding lurus terhadap perubahan sosial yang melingkarinya. Disini Gus Dur mengindahkan Jarak dan waktu tertentu sehingga makna yang dihasilkan bukan sekedar interes pribadi, melainkan sungguh yang dituntut kontektual pada peradaban di zamannya.
Makna atas teks “agama” dihadapan Gus Dur merupakan proses terbuka, tetapi bukan berarti menghadirkan kesewenangan dan berubahan atas substansi dimana teks tersebut dihadirkannya. Menurutnya tafsir atau interpretasi merupakan sebuah disiplin argumentatif yang dapat menghindari skeptisme tanpa menuntut kepastian, terlebih lagi dogmatisme atau ideologisasi pada kelompok terbatas.
Gus Dur tetap teguh dalam ajaran legal formalistik pada syariat dan tauhid keberagamaannya. Sementara sisi lain dirinya melakukan koreksi “mendasar” dari cara mengembangkan dan menafsirkan kaidah-kaidah lama untuk terbarukan. Gus Dur bahkan cenderung mencari cara atau metode penafsiran kembali, sebagai re-interpretasi terhadap “paradigma” ajaran, nilai dan tradisi keagamaan sebagai keinginannya membangun kemaslahatan bersama sebagai hubungan manusia dengan manusia, manusia terhadap negaranya, termasuk alam sekitarnya dimana dirinya hidup dan berkehidupan.
Maka di semua kiprahnya, Gus Dur berusaha mengembangkan gagasannya dengan tetap berpijak pada tradisi pesantren –Islam tradisional-- untuk bersinergi menjadi cakrawala kebudayaan modern, Dia mempertemukan tradisi dengan nilai-nilai modern. Sikap, perilaku dan pandangannya –lihat pada tulisan-tulisannya, konsisten mengkritisi dan menentang “formalisasi” ketentuan syariah atau ajaran Islam melalui peraturan perundangan Negara. Baginya setiap upaya formalisasi yang dilakukan merupakan sikap diskriminatif terhadap kelompok lain di luar Islam. Bagi Gus Dur, dalam suatu Negara harus dan hanya ada satu hukum yang tidak membedakan agama, ras dan keyakinan politik rakyatnya.
Bagi Gus Dur dialektika tradisi dan kemodernan, merupakan bagian dari kemajemukan atau pluralitas bangsa, yang perlu terus ditumbuh-kembangkan dalam membangun kebudayaan nasional dan dalam proses “demokrasi” atau proses politik di Indonesia. Selanjutnya proses tersebut merupakan kewajiban bersama untuk mencari benang merah yang menghubungkan antara pihak tradisional dan modern, termasuk paham keagamaan yang ada dengan paham kenegaraan –yaitu proses menjadi Indonesia, tentu saja dengan keragaman entitas yang dimilikinya.
Dalam hidup keberagamaan, manusia memang mendeskripsikan “kebenaran agama”, dari sudut pandangnya sebagai proses yang berbeda. Bila mungkin, manusia akan melakukan “idealisasi” universal atas ajaran agama tersebut. Namun Gus Dur mengingatkan bahwa idealisasi universal perlu melihat dan mendasarinya pada pengertian orang per orang tentang sebuah paradigma “agama” serta keyakinan yang dibangun atas fakta dan kenyataan empiris kehidupan manusia, sebagai kodrat kemanusiaannya sebagai mahluk Allah juga. Untuk itulah, Gus Dur meletakan realitas “Pluralisme” sekaligus merupakan “Hak Asasi Manusia” (HAM) yang hadir dalam kesemestaan Indonesia sebagai fakta dan kenyataan empiris juga.
Pada cara pandang demikianlah, “wacana” dan teks mengenai pluralisme Gus Dur menjadi perdebatan tersendiri, terlebih ketika menyangkut reposisi elite dan rakyat dalam demokratisasi dan tuntutan perubahan kekuasaan yang setara serta egalitarian, tanpa diskriminasi. Dengan pluralisme dan Hak Asasi Manusia inilah, Gus Dur membongkar “paradigma” dogmatisme agama dan sistem politik yang hegemonik represif “ideologis”.
Pemahaman pluralisme Gus Dur merupakan komitmennya atas kemanusiaan yang dilatari beberapa sebab, pertama, penghargaan Gus Dur atas kelompok non-muslim merupakan penghargaan dan pelindungan atas kaum lemah, sebagai kelompok minoritas. Kedua, pluralisme Gus Dur juga bisa dilihat dalam kerangka komitmennya atas negara bangsa yang dinilainya sudah final, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam pemikiran Gus Dur, pola hubungan yang harmonis antara umat beragama --hubungan Muslim dan non-muslim-- merupakan kunci untuk membangun kemajuan bangsa, terutama sebagai relasi kemanusiaan. Menurutnya, masalah pokok konflik, pertentangan dan harmoni dalam hubungan antar umat beragama, didasari berkembangnya rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan.
Karena dalam pluralisme bukan hanya saling menghormati antara umat beragama, juga bukan sebatas bertenggang rasa satu terhadap yang lain, tetapi yang dibutuhkan adalah rasa memiliki (sense of belonging) atas keindonesiaan sebagai keniscayaan bersama. Sementara perspektif agama-agama --terutama Islam-- adalah sangat jelas mengenai pluralisme dan Hak Asasi Manusia dalam konteks bermasyarakat serta bernegara, yaitu terpenuhinya rasa keadilan dan kesetaraan hukum untuk segenap warga negara Indonesia.
Di perspektif tersebut Gus Dur menegaskan bahwa menerima konsep nation state (Negara Bangsa) dalam pilihan NKRI merupakan sebuah keyakinan pada perkembangan pluralisme bangsa. Untuk itulah, Gus Dur tegas menolak konsep masyarakat “Islam” yang menghadirkan sikap tidak toleran (intoleransi) terhadap kelompok di luar Islam. baginya adalah menjadi penting membangun masyarakat “Indonesia” yang pluralistik dengan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia berdasar konstitusi Indonesia, sebagai tindakan mengaktualisasikan nilai Islam atau keberagamaan yang ada. Disinilah problem keyakinan dan keakidahan sebagai moslem diuji untuk meletakan Islam sebagai agama yang memberi rahmat pada kesemestaanNya, semoga!
Penulis: Amsar A. Dulmanan, Sosok kelahiran Jakarta, 28 Juni 1964 adalah intelektual yang giat memotivasi Kajian Pemikiran di berbagai kelompok, antara lain adalah Kelompok Kajian 164 Jakarta, Lingkaran Jurnalistik, Rumah Indonesia. Sejak 11 Pebruari 2018 berNIDN Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta, sebagai Dosen Sosiologi Politik less
0 Comments