Negara & Penguatan Politik Kerakyatan


Negara & Penguatan Politik Kerakyatan

Oleh Amsar A. Dulmanan.


Proses demokratisasi di Indonesia sejalan dengan perkembangan politik yang melingkarinya, proses-proses yang terjadi  merupakan tarikan dari kepentingan-kepentingan politik terhadap penguasaan kekuasaan yang ada. Sementara  pergulatan  kepentingan tersebut  adalah  pada upaya menggunakan simbol-simbol kekuasaan dan  pencarian legitimasi” atas dukungan yang kerap menggunakan pendekatan sebagai kesadaran serta bentuk-bentuk partisipasi politik kekuatan masyarakat atau lembaga-lembaga kekuasaan, yang kerap  berkarakter mobilisasi.

Penguatan dan pemberdayaan  kelompok-kelompok masyarakat, dalam terminologi politik merupakan  pemberdayaan  terhadap karakter kekuatan civil society, sebagai penyeimbang dan pengontrol kekuasaan pemerintah atau kekuatan politik Negara. Karena negara telah dipergunakan sebagai alat kekuasaan dari kepentingan-kepentingan politik  pada jaringan atau korporatisme kekuasaan rezim yang menguasainya.

Tarikan-tarikan kekuasaan yang terjadi  memang selalu membawa konsekuensi dari perubahan-perubahan sistem kekuasaan yang berlaku. Hal ini dapat tercermati ketika silih berganti munculnya pemerintahan dari sistem parlementer dengan penguatan terhadap kelompok partai-partai politik, serta sistem kekuasaan yang presidensial, yang memberi kekuasaan sangat otonom pada Presiden sebagai kepala eksekutif sekaligus sebagai kepala Negara, sehingga dalam sejarah keberadaannya selalu  berada pada perilaku  otoriter dan korporatisme otoriter birokratik seperti di regime Soekarno dan Soeharto.

Transisi demokrasi adalah dimulai dan hadir dari kondisi-kondisi yang terbentuk akibat proses pembangunan  yang dijalankan dari pemerintah sebelumnya, juga kemungkinan-kemungkinan yang terkondisikan atas kepentingan-kepentingan dari berbagai perspektif. Seperti kepentingan  internal dari kelompok yang berada di kekuasaan pemerintah yang menginginkan perubahan. Jika akibat tumbuhnya kesadaran partisipasi politik yang lebih luas dari kelompok-kelompok kelas menengah” baru yang terbentuk dari membaiknya kondisi perekonomian bangsa, sisi lain intervensi  eksternal, dari kelompok berkeinginan mempunyai peran lebih --terkadang sangat eksploitatif, dalam menempatkan investasinya terutama pada aspek ekonomi, sosial, budaya dalam program  dan kebijakan rezim berkuasa. Juga kepentingan  ekstenal” akibat dari perubahan kehidupan politik dunia sehingga menempatkan demokrasi” menjadi kebutuhan bersama dalam sistem yang seolah-olah bersama dan kondusif. Dalam demokrasi sepatutnya semua kekuatan, baik kekuatan civil society maupun negara mengapresiasikan dirinya dalam kekuasaan yang harus dimilikinya, tanpa menegasikan dan mereduksi keberadaan yang satu  terhadap yang lainnya.

Saat ini wacana demokrasi dan demokratisasi merupakan konsepsi yang  bebas tafsir” dengan atas nama kekuasaan dari pemerintah yang dikuasainya maupun  diluar jangkauan kekuasaan rezim, sekaligus pada kesempatan mereduksi kekuasaan menjadi dukungan”  terhadap pemerintahan” yang dijalankannya, tanpa kecuali pada aktor-aktor dan institusi yang berkepentingan di dalamnya.

Tetapi kembali pada konsepsi bahwa Negarasebagai pemegang otoritas kuasa dari regime yang berkuasa-- merupakan wujud dari kewenangan mendasar atas kesepakatan politik, yaitu sebagai  mandat rakyat” untuk melaksanakan kekuasaan  yang diwenangkan  pada bentuk pemerintahan atau institusi yang dibutuhkan, tetapi sekaligus juga sebagai keinginan rakyat sebagai warga negara memperoleh ketentraman dan  perlindungan dari Negara, yaitu pada pemenuhan hak-hak dasar kemanusiaannya. Mungkin disinilah struktur kuasa yang bernama Negara” diciptakan, tentu saja wewenang tanggungjawab dan kekuasaannya pun tertuang dalam undang-undang serta segenap peraturan yag mendasarinya. Maka Negara atau regime berkuasa berkewajiban  mewujudkan penguatan dan sekaligus pemberdayaan masyarakatnya sebagai pengejawantahan dari tujuan” ber-Negara.

Kini di Indonesia, realitas kuasa” politik  memang dan bisa jadi  lalai atas esensi dari keberadaannya, Negara termasuk institusi dan aktor politik--  asyik bergelut pada peneguhan dirinya dan sebatas mengkapitalisasi kepentingan politiknya. Negara pada akhirnya tetap saja menjadi alat politik, bahkan alat produksi regime membangun status quo” kuasanya. Sementara Partai Politik sebagai institusi demokrasi menegasikan peran dan fungsinya pada upaya penguatan politik kerakyatan, setidaknya pada pemberdayaan kesadaran” politik massa pendukungnya. sedang aktor-aktor politik yang ada berjibaku pada keinginan dan ambisi atas perubahan status atau kelas sosialnya semata, lebih jauh  menumbuhkan peodalisme”  dalam relasi politiknya, menjadi klen-klen politis baru, yang sesungguhnya tidak berbeda dengan regime politik sebelumnya, yaitu tetap mengedepankan otoriterianisme, nepotisme, korupsi dan kolusif.

 Negara, partai dan aktor-aktor politik telah menjadi instrumentasi dari pragmatisme kuasa,   mereka menjadi alat dari kepentingan politik global,  yaitu boneka” dari kapitalisme. Demokrasi yang terjadi tidak lagi pada substansi memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya, kecuali sekadar proseduran dari perubahan kepemimpinan bisa jadi dilaksanakan dalam proses politik yang manipulatif.

Demokratisasi tidak membangun sistem dan mekanisme politik yang menguatkan politik kerakyatan, melainkan alih-alih dari eksploitasi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang ada. Lalu sebagai Negara, Indonesia  menjadi terlemahkan, tidak lagi  memiliki kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi sesungguhnya, kecuali hanya menjadi pasar” dan arena” dari kepentingan globalisasi” politik dunia, malahan masif membentuk struktur” budaya baru atas nama modernisasi dan industrialisasi” informasi yang meluluhkan integritas berkepribadiaan suku” bangsa keindonesiaan yang ada. Kini rakyat Indonesia tidak membangun dan menguatkan kepribadiannya, selain menjadi duplikasi dari berkebudayaan yang lain yang alienatif.

Realita tersebutlah, yang menghadirkan apatisme warga negara terhadap perubahan politik yang ada, lagi-lagi proses yang dilakoni sebatas partisipasi yang termobilisasi. Parahnya ketika struktur kuasa tidak menjalankan fungsi  penguatan kesadaran” politik kerakyatan, dipastikan kekuatan kontrol atas penyalahgunaan kekuasaan terkanalisasikan pada intsitusi politik yang ada. Di balik itu entitas ke-Indonesia-an  sebatas menghadirkan konflik  horizontal dan tidak terintegrasi menjadi satu kesatuan dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.  

Dalam hal ini Rakyat sebagai pemilik otoritas” kuasa dimarginalisasi, bahkan dinegasikan, yang lagi-lagi termobilisasi pada kepentingan dan keinginan diluar kesadarannya, terkukung dalam pembodohan yang masif dan terstruktur. Walaupun Demokrasi sesungguhnya hadir sebagai kritik atas bentuk-bentuk absolutisme” kuasa, mengingat pemilik sah kekuasaan adalah warga Negara atau rakyat, bukan aparatus Negara, partai  atau aktor politik --mereka adalah sebatas penerima wewenang kuasa.

Namun ketika penerima wewenang bergerak melalaikan  proses-proses perubahan menuju tahapan lebih baik serta tidak dapat melindungi keberadaan si pemberi wewenang maka mandat” dan wewenang yang diberikan bisa ditarik kembali untuk segera dilakukan konsensus”  awal lagi, yaitu sebagai upaya perubahan politik yang baru,  dimana kekuatan masyarakat sebagai civil society adalah kuasa sesungguhnya secara konstitusional dalam frame” demokratisasi Indonesia.

 

Jakarta, 17 Juni 2022
Amsar A. Dulmanan,
 Kordinator Nasional FK-GMNU,  Wakil Dekan Fakultas Ilmu Politik (FIS) UNUSIA
 

Post a Comment

0 Comments